Joki STNK: Dalih Hemat Pajak, Jerat Tanggung Jawab Hukum
Fenomena "joki STNK" bukanlah hal baru di Indonesia. Modus ini marak digunakan oleh pemilik kendaraan yang enggan atau merasa keberatan untuk melakukan balik nama kepemilikan, atau sengaja menghindari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) progresif. Dalam praktiknya, nama yang tertera di Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) bukanlah pemilik sesungguhnya, melainkan "joki" yang namanya dipinjam atau digunakan.
Anatomi Fenomena Joki STNK
Alasan utama di balik praktik ini adalah penghindaran pajak progresif. Pajak progresif dikenakan pada kepemilikan kendaraan kedua dan seterusnya atas nama yang sama. Dengan menggunakan nama orang lain (joki), seolah-olah kendaraan tersebut adalah milik pertama sang joki, sehingga tarif pajak tetap pada tingkat dasar atau lebih rendah. Selain itu, proses jual beli kendaraan bekas yang malas mengurus balik nama juga sering menjadi pemicu.
Para joki ini bisa siapa saja; mulai dari anggota keluarga, teman dekat, hingga individu yang memang menawarkan jasa "pinjam nama" dengan imbalan tertentu. Meskipun terlihat sepele, praktik ini menyimpan potensi masalah hukum yang serius dan merugikan berbagai pihak.
Analisis Hukumnya: Jerat Tanggung Jawab Tak Terduga
-
Pelanggaran Aturan Kepemilikan dan Registrasi Kendaraan:
Secara hukum, STNK adalah bukti kepemilikan dan legalitas kendaraan bermotor. Nama yang tertera di STNK otomatis menjadi penanggung jawab hukum atas kendaraan tersebut. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dengan jelas mengatur tentang kewajiban registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. Praktik joki STNK jelas menciptakan ketidaksesuaian data antara pemilik fisik dan pemilik legal. -
Penghindaran Pajak:
Praktik joki STNK adalah upaya nyata untuk menghindari kewajiban pembayaran pajak progresif. Ini merugikan negara dari sisi pendapatan daerah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik. Meskipun belum ada pasal pidana spesifik untuk "joki STNK" dalam konteks penghindaran pajak progresif, tindakan ini melanggar prinsip keadilan pajak. -
Risiko Hukum bagi Sang "Joki":
Ini adalah poin paling krusial. Pihak yang namanya tertera di STNK (sang joki) menanggung risiko hukum yang sangat besar:- Tanggung Jawab Tilang Elektronik (ETLE): Jika kendaraan melakukan pelanggaran lalu lintas yang terekam kamera ETLE, surat tilang akan dikirimkan ke alamat joki. Jika tidak diurus, bisa berujung pada pemblokiran STNK.
- Keterlibatan dalam Tindak Pidana: Apabila kendaraan tersebut terlibat dalam kecelakaan, tindak kejahatan (misalnya, perampokan, penipuan, atau bahkan tindak terorisme), maka nama yang tercatat di STNK-lah yang pertama kali akan dipanggil dan dimintai pertanggungjawaban oleh pihak kepolisian. Sang joki bisa terseret dalam proses hukum meskipun tidak tahu-menahu tentang kejadian tersebut.
- Beban Pajak dan Biaya: Tagihan PKB, termasuk denda jika terlambat, akan terus datang atas nama joki.
-
Kelemahan Perjanjian Perdata:
Perjanjian "pinjam nama" antara pemilik asli dan joki umumnya bersifat tidak resmi atau di bawah tangan. Secara perdata, perjanjian ini rapuh dan sulit dibuktikan jika terjadi sengketa, misalnya pemilik asli tidak mau mengambil alih kendaraan atau membayar pajaknya.
Kesimpulan
Fenomena joki STNK adalah "bom waktu" yang berpotensi meledak kapan saja. Dalih untuk menghemat pajak progresif atau menghindari kerumitan administrasi, justru berujung pada jeratan tanggung jawab hukum yang jauh lebih besar. Kesadaran akan pentingnya tertib administrasi kepemilikan kendaraan dan kepatuhan pajak adalah kunci untuk menghindari dampak negatif dari praktik ini, demi keamanan diri dan tertibnya data kependudukan serta kendaraan bermotor di Indonesia.