Ketika Cinta Menyakiti: Perlindungan Hukum bagi Korban Kekerasan dalam Pacaran
Hubungan asmara yang seharusnya dipenuhi kasih sayang dan dukungan, seringkali tercoreng oleh bayang-bayang kekerasan. Kekerasan dalam pacaran, atau dating violence, adalah realitas pahit yang dialami banyak individu, namun seringkali tersembunyi di balik stigma, rasa takut, atau ketidakpahaman akan hak-hak hukum.
Kekerasan ini bisa berupa fisik (pemukulan, pendorongan), psikis (ancaman, merendahkan, gaslighting), seksual (pemaksaan hubungan intim), maupun ekonomi (menguasai keuangan, melarang bekerja). Dampaknya sangat menghancurkan, meninggalkan trauma mendalam, depresi, kecemasan, hingga isolasi sosial bagi korban.
Perlindungan Hukum yang Tersedia
Kabar baiknya, korban kekerasan dalam pacaran tidak sendirian. Hukum di Indonesia menyediakan payung perlindungan, meskipun seringkali memerlukan keberanian korban untuk melapor.
- Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12 Tahun 2022: Ini adalah payung hukum yang sangat relevan dan kuat. UU TPKS mengakui berbagai bentuk kekerasan seksual, termasuk yang terjadi dalam hubungan pacaran. Korban memiliki hak atas penanganan, perlindungan, pemulihan, hingga restitusi (ganti rugi).
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Tindakan kekerasan fisik seperti penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pengancaman (Pasal 368 KUHP), hingga pemerkosaan (Pasal 285 KUHP) tetap dapat diproses hukum terlepas dari status hubungan pelaku dan korban.
- Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23 Tahun 2004: Meskipun secara spesifik untuk KDRT, dalam beberapa kasus, jika hubungan pacaran sudah menyerupai rumah tangga (misalnya tinggal bersama), UU ini dapat menjadi dasar hukum.
Langkah Hukum bagi Korban:
Langkah awal yang krusial adalah keberanian untuk melaporkan ke pihak kepolisian. Penting bagi korban untuk:
- Mengumpulkan bukti: Foto luka, tangkapan layar percakapan ancaman, saksi, atau visum et repertum dari dokter/rumah sakit. Visum adalah bukti hukum yang sangat kuat.
- Mencari pendampingan: Lembaga seperti Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Komnas Perempuan, atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada kekerasan berbasis gender dapat memberikan pendampingan psikologis dan hukum.
- Memahami hak-hak: Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman, kerahasiaan identitas, hingga pemulihan fisik dan psikis.
Tantangan dan Harapan
Tantangan terbesar seringkali datang dari rasa malu, takut, ketergantungan emosional, atau ancaman dari pelaku. Namun, perlu disadari bahwa kekerasan bukanlah bentuk cinta. Memutus rantai kekerasan adalah langkah awal menuju pemulihan dan kehidupan yang lebih baik.
Peran masyarakat, keluarga, dan lingkungan sangat krusial dalam mendukung korban untuk berani bersuara dan mencari keadilan. Dengan kesadaran yang meningkat dan dukungan hukum yang kuat, kita bisa menciptakan lingkungan di mana tidak ada lagi ruang bagi "cinta yang menyakiti." Anda tidak sendirian.