Analisis Hukum terhadap Pelaku Penipuan Modus Penggalangan Dana

Menguak Tabir Hukum Penipuan Dana Donasi: Ketika Empati Berujung Pidana

Fenomena penipuan dengan modus penggalangan dana palsu kian meresahkan, memanfaatkan empati publik untuk keuntungan pribadi. Modus ini, yang seringkali berkedok musibah fiktif, penyakit kronis palsu, atau yayasan bodong, mengeksploitasi kepedulian masyarakat melalui platform digital maupun konvensional. Lantas, bagaimana jerat hukum bagi para pelakunya?

Modus Operandi dan Karakteristik Hukum
Pelaku umumnya menciptakan narasi palsu yang menyentuh hati, lengkap dengan bukti-bukti rekayasa seperti foto atau video editan. Tujuan utamanya adalah "menggerakkan" calon korban untuk menyumbangkan dana. Kejahatan ini secara inheren mengandung unsur penipuan, yakni adanya tipu muslihat atau serangkaian kebohongan yang menyebabkan orang lain menyerahkan sesuatu (uang atau barang) dan menimbulkan kerugian.

Landasan Hukum Utama

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – Pasal 378 (Penipuan):
    Ini adalah pasal primer yang paling relevan. Pasal 378 KUHP berbunyi, "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
    Unsur kunci yang terpenuhi adalah adanya "tipu muslihat" atau "serangkaian kebohongan" yang bertujuan "menggerakkan" korban untuk "menyerahkan" dana, dan hal ini berujung pada "kerugian" korban serta "keuntungan melawan hukum" bagi pelaku.

  2. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) – Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1):
    Jika penipuan dilakukan secara daring (online), UU ITE menjadi landasan hukum pelengkap yang kuat. Pasal 28 ayat (1) UU ITE melarang "setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik." Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45A ayat (1) yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Unsur "berita bohong dan menyesatkan" sangat relevan dengan narasi fiktif yang dibangun pelaku.

Pemberatan Hukuman
Hukuman bagi pelaku dapat diperberat jika perbuatan tersebut menimbulkan kerugian besar, dilakukan secara terorganisir, atau memanfaatkan kepercayaan publik secara masif. Abusif terhadap empati dan solidaritas sosial dianggap sebagai faktor yang memperburuk tindakan pidana.

Kesimpulan
Analisis hukum menunjukkan bahwa pelaku penipuan modus penggalangan dana dapat dijerat dengan pasal berlapis, utamanya Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU ITE, tergantung pada cara dan skala kejahatannya. Penegakan hukum yang tegas krusial untuk memberikan efek jera dan melindungi masyarakat. Penting bagi publik untuk selalu waspada, melakukan verifikasi mendalam, dan melaporkan setiap indikasi penipuan demi menjaga integritas nilai-nilai kemanusiaan dan kepercayaan publik yang kerap kali menjadi korban.

Exit mobile version