Analisis Hukum terhadap Pelaku Penipuan Modus Pinjaman Daring

Jerat Hukum di Balik Modus Pinjaman Daring Fiktif: Analisis Terhadap Pelaku Penipuan Digital

Era digital membawa kemudahan, tak terkecuali dalam akses pinjaman. Namun, di balik kemudahan ini, muncul pula bayangan gelap penipuan berkedok pinjaman daring (pinjol) fiktif yang merugikan banyak pihak. Lantas, bagaimana jerat hukum membidik para pelaku kejahatan ini?

1. Penipuan Konvensional dalam Balutan Digital (KUHP)
Inti dari kejahatan ini adalah penipuan, yang secara umum diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menegaskan bahwa barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara.

Dalam konteks pinjol fiktif, pelaku menggunakan janji-janji palsu, identitas fiktif, atau prosedur yang menyesatkan untuk membujuk korban mentransfer uang (misalnya biaya administrasi, asuransi fiktif) tanpa pernah memberikan pinjaman yang dijanjikan. Unsur "niat jahat" dan "kerugian korban" sangat jelas terpenuhi di sini.

2. Dimensi Digital dan UU ITE
Karena kejahatan ini dilakukan melalui sistem elektronik, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi lapisan hukum tambahan yang krusial. Beberapa pasal yang relevan antara lain:

  • Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45A ayat (1) UU ITE: Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Ini sangat relevan mengingat pelaku menyebarkan informasi palsu mengenai pinjaman.
  • Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat (1) UU ITE: Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik. Pasal ini bisa dikenakan jika pelaku memalsukan dokumen atau data untuk meyakinkan korban.

3. Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Tidak jarang pula hasil kejahatan penipuan pinjol fiktif dalam skala besar dicuci atau disamarkan. Dalam kasus seperti ini, pelaku dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Pasal 3 UU TPPU mengancam setiap orang yang menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Kesimpulan
Pelaku penipuan modus pinjaman daring fiktif tidak hanya menghadapi jerat Pasal 378 KUHP, tetapi juga lapisan hukum lain dari UU ITE yang mengakomodasi dimensi digital kejahatan, bahkan potensi jerat UU TPPU jika ada upaya pencucian uang. Kombinasi undang-undang ini menunjukkan komitmen negara dalam melindungi warganya dari kejahatan siber. Masyarakat pun harus senantiasa waspada dan tidak mudah tergiur tawaran pinjaman instan yang tidak masuk akal demi menghindari menjadi korban.

Exit mobile version