Tanah Adalah Nyawa: Episentrum Perlawanan Agraria
Di berbagai belahan dunia, bentrokan agraria bukan sekadar sengketa lahan biasa. Ini adalah cerminan peperangan tak kasat mata, di mana rakyat tani dan masyarakat adat harus berjuang mati-matian menjaga tanah yang menjadi sumber kehidupan, warisan leluhur, dan fondasi identitas mereka.
Akar konflik ini seringkali bercabang dari ambisi ekspansi korporasi besar, proyek pembangunan infrastruktur negara, atau kebijakan yang timpang, yang mengabaikan hak-hak komunal dan tradisional. Ribuan petani dan masyarakat adat terancam tergusur dari tanah yang telah mereka garap turun-temurun, demi kepentingan yang seringkali hanya menguntungkan segelintir pihak.
Dalam menghadapi ancaman ini, "perang orang tani" pun berkobar. Bukan selalu dengan senjata, namun melalui gigihnya perlawanan: demonstrasi, pendudukan kembali lahan, perjuangan hukum yang panjang, hingga aksi-aksi budaya yang menolak penggusuran. Tanah bagi mereka bukan sekadar aset, melainkan napas kehidupan, masa depan anak cucu, dan inti dari kedaulatan pangan. Kehilangan tanah berarti kehilangan segalanya.
Perjuangan ini adalah cermin ketidakadilan struktural yang terus terjadi, namun juga bukti nyata keteguhan rakyat dalam menjaga martabat dan hak asasi mereka. Mengakui dan melindungi hak-hak agraria adalah kunci menuju keadilan sejati dan perdamaian yang berkelanjutan, memastikan bahwa tanah tetap menjadi sumber kehidupan, bukan medan perang.